Bhagavan Dwidja source : dari
www.hindu-indonesia. Copyright 2002, hindu-indonesia.com,
Padmasana
Rekan-rekan sedharma Yth.Om Swastyastu,Mengingat rekan-rekan sedharma di Bali dan diluar Bali banyak yang membangun tempat sembahyang atau Pura dengan pelinggih utama berupa Padmasana, perlu kiranya kita mempelajari seluk beluk Padmasana agar tujuan membangun symbol atau "Niyasa" sebagai objek konsentrasi memuja Hyang Widhi dapat tercapai dengan baik.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu : "Padma" artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. "Sana" artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah. Dengan demikian Padmasana adalah symbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan bathin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai symbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur :
1)
Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal : Timur (Purwa) sebagai Ishwara, Tenggara (Aghneya) sebagai Mahesora, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairity) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
2)
Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan symbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai : Siwa (adasthasana/dasar), Sadasiwa (madyasana/tengah) dan Paramasiwa (agrasana/puncak).
3)
Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana.
Menurut Lontar "Dwijendra Tattwa", pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau : Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha. Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana. Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik dimana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai symbol/niyasa ketika itu hanya : meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong. Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan symbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.NIYASA STANA HYANG WIDHI.Pelinggih Padmasana adalah niyasa atau symbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutan :
1)
Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau "Surya",
2)
Sanghyang Tri Purusa, dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Memperhatikan makna niyasa seperti diatas, jelaslah bahwa Padmasana adalah niyasa yang digunakan oleh Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah Pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta.
HIASAN PADMASANA.Hiasan Padmasana adalah :
1)
Di dasar bangunan ada Bhedawangnala, yaitu ukiran "mpas" (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah symbol dasar bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah symbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, dimana bheda" artinya : lain, kelompok, selisih; "wang" artinya: peluang, kesempatan; "nala" artinya : api. Jadi bhedawangnala artinya : suatu kelompok (unit) yang meluangkan adanya api. Api disini bisa dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi, dapat juga dalam arti symbol lain yaitu energi kekuatan hidup. Karena letaknya dibawah/dasar bangunan maka symbol bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.
2)
Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah belakang, adalah symbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.
3)
Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah symbol Sanghyang Saraswati bermakna sebagai : pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.
4)
Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah symbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan.
5)
Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai symbol keaneka ragaman alam semesta. Kesimpulan arti symbolis dari semua bentuk Padmasana adalah : Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.
BENTUK-BENTUK PADMASANA. Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana yaitu :
1)
Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan dipuncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti.
2)
Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan dipuncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya : lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) - kanan (penengen), dst
3)
Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan dipuncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa
4)
Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa.
5)
Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan).
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin "utama" bentuk padmasana, sesuai dengan urutan diatas.LETAK PADMASANA. Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu :
1)
Padma Kencana : di timur (purwa) menghadap ke barat (pascima).
2)
Padmasana : di selatan (daksina) menghadap ke utara (uttara).
3)
Padmasari : di barat (pascima) menghadap ke timur (purwa).
4)
Padma lingga : di utara (uttara) menghadap ke selatan (daksina).
5)
Padma asta sedhana : di tenggara (agneya) menghadap ke barat laut (wayabya).
6)
Padma noja : di barat daya (nairity) menghadap ke timur laut (airsaniya).
7)
Padma karo : di barat laut (wayabya) menghadap ke tenggara (agneya). 8) Padma saji : di timur laut (airsanya) menghadap ke barat daya (nairity).
9)
Padma kurung : di tengah-tengah Pura (madya) menghadap ke pintu keluar/masuk (pemedal).
Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura dan konsep "hulu - teben". Filsafat hulu - teben timbul karena manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, kemudian "menganggap" Hyang Widhi seperti organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki. Perhatikan gambar symbol Acintya. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa tatanan kehidupan "skala" (nyata) dan "niskala" (tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura. Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai "utama mandala", bagian yang kurang sakral disebut sebagai "madya mandala" dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai "nista mandala". Hulu - Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena dimana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya di daerah Den Bukit (Buleleng) dimana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana. Sebaliknya diselatan "bukit" (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan dimana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga. Di daerah Karangasem bagian timur dimana hulunya (Gunung) ada dibagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari. Demikian seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar dimana sulit memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu - teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik diantara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut diatas.MEMILIH LOKASI.
Bila ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan jagat artinya yang permanen dan akan digunakan selamanya serta untuk kepentingan rekan sedharma dalam jumlah besar, perlu memperhatikan pemilihan lokasi yang tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Lontar Keputusan Sanghyang Anala, lontar mana ditulis berdasarkan wahyu yang diterima oleh Bhagawan Wiswakarma. Selain untuk membangun Padmasana, aturan ini juga dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan, dan perumahan. LOKASI YANG BAIK :
1)
Lebih tinggi di Barat (dari arah pusat kota atau dari arah jalan raya). Disebut "manemu labha" dimana sinar matahari tidak terhalang sejak pagi sampai sore, membawa keberuntungan dan umur panjang.
2)
Lebih tinggi di arah laut, disebut "paribhoga wredhi", membawa kemakmuran yang melimpah bagi penghuninya.
3)
Rata (dengan jalan atau pusat kota) disebut "madya" tidak ada keistimewaan artinya biasa-biasa saja, namun dengan syarat : sinar matahari, udara dan air tersedia cukup tidak terhalang apapun.
4)
Ketika berada diatas tanah itu perasaan damai, tentram dan hening, walaupun lokasi itu tidak memenuhi persyaratan seperti nomor 1,2,3 diatas, disebut "dewa ngukuhi", membawa ketentraman bathin dan kedamaian.
5)
Tanah berbau pedis ketika dicongkel sedalam 30 Cm, disebut "sihing kanti" sangat baik karena akan mempunyai banyak sahabat.
HINDARI LOKASI YANG BERIKUT INI, disebut "palemahan hala" :
1)
Tanah yang berwarna hitam, selintas kelihatan seperti kotor, disebut "ucem", membawa sial.
2)
Lokasi dimana kita merasa panas tidak wajar, disebut "melekpek", membawa bencana pertikaian, perkelahian, tidak damai.
3)
Lokasi dalam satu batasan pagar yang ditempati oleh lebih dari satu keluarga yang tidak ada hubungan darah, disebut "manyeleking", membuat kesehatan sering terganggu.
4)
Berhadapan dengan pertigaan atau perempatan jalan disebut "sandang lawe" atau tusuk sate, membuat penghuni sakit-sakitan.
5)
Lokasi dikelilingi jalan, disebut "sula nyupi", membawa sial.
6)
Lokasi dimuka dan dibelakang atau disamping kiri dan kanan ada jalan umum (diapit jalan), disebut "kuta kabanda", membawa bencana.
7)
Lokasi disamping tanah kosong sandang lawe (lihat nomor 4), disebut "teledu nginyah", membawa kesusahan hidup dan kesehatan sering terganggu.
8)
Lokasi bersebelahan (kurang dari jarak "apenimpug", "apeneleng" yaitu sekitar 200 - 300 meter) dengan Pura Kahyangan Tiga, Dang Kahyangan, Sad Kahyangan, disebut "karang grah", sering dimasuki pencuri, dan tidak merasa tentram karena selalu terancam bahaya.
9)
Dua bidang tanah yang saling berhadapan namun dibatasi jalan raya, kedua-duanya dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga, disebut "amada-mada Bhatara", membuat penghuninya selalu sedih dan sakit-sakitan.
10)
Satu bangunan namun mempunyai dua pintu masuk/keluar yang sama ukuran dan bentuknya disebut " boros wong" membuat penghuninya sulit ekonominya, serba kekurangan, dan susah menabung.
11)
Satu bangunan dimana air limbahan, atau air hujan dari atap jatuh kepekarangan orang lain, maka tanah yang ketimpa air limbah itu disebut "suduk angga" membawa sial dan sakit-sakitan.
KARANG KEBAYA-BAYA.
Selain "palemahan hala" seperti yang dikemukakan diatas, perlu juga dihindari tanah pekarangan yang disebut "karang kebaya-baya" yaitu :
1)
NEMU BAYA, ketika berada di tengah-tengah pekarangan, perasaan seperti sunyi dan takut, walaupun ada banyak orang dan banyak rumah disekitarnya. Untuk menyimak hal ini perlu berada ditanah itu beberapa saat, sekitar 30 menit dengan mengkonsentrasikan pikiran. Jika benar demikian, penghuninya akan mendapat berbagai bahaya.
2)
KARANG TENGET, tanah bekas pura atau sanggah pamerajan, bekas kuburan, dan bekas Geria atau pertapaan Sulinggih. Jika ditempati akan membawa bencana perkelahian.
3)
BHUTA SALAH WETU, di tanah pekarangan itu pernah ada binatang melahirkan tidak wajar, misalnya babi atau anjing beranak satu, sapi atau binatang yang mestinya berkaki empat lahirnya hanya berkaki tiga atau kurang, pohon pisang keluar tandannya dari tengah-tengah batang, pohon kelapa diatasnya bercabang dua, dll. jika dibangun perumahan atau Pura akan membawa bencana kemalangan.
4)
BHUMI SAYONGAN, dari dalam tanah keluar asap misterius tanpa bekas pembakaran, dan banyak binatang tabuhan atau nyawan berterbangan apalagi membuat sarang. Penghuninya nanti akan mendapat kecelakaan.
5)
OONG BAYA, ada cendawan tumbuh liar, pertanda penghuninya kelak akan mendapat kesulitan hidup.
6)
TOYA BAYA, jika ada air berwarna kemerahan seperti darah keluar dari dalam tanah membawa akibat penghuninya sering berkelahi bahkan sampai terjadi pertumpahan darah.
PANGUPA HAYU, adalah usaha untuk menghindarkan bahaya-bahaya yang mengancam, karena "palemahan hala" dan "karang kebaya-baya". Bila terpaksa harus membangun di tanah-tanah kurang baik seperti tersebut diatas, lakukan hal-hal sebagai berikut :
1)
Untuk pekarangan "sandang lawe", buatkan padma capah tepat diarah jalan dari depan, dimana distanakan Sanghyang Indra Balaka.
2)
Untuk pekarangan : "sula nyupi", "kuta kebanda", dan "teledu nginyah" ditengah-tengah pekarangan dibuat padma capah dimana distanakan Sanghyang Dhurgamaya
3)
Untuk "karang grah" dibuatkan bangunan "sombah" yaitu tembok pagar yang berlubang sebagai symbol keluar-masuknya Sang Kala Awengku Rat.
4)
Untuk tanah-pekarangan lain-lain yang termasuk palemahan hala dan karang kebaya-baya agar dibuatkan banten caru dengan tingkatan yang lebih besar misalnya "manca sanak", "manca kelud", dan "balik sumpah"
ASTA KOSALA dan ASTA BUMI. Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta : Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab : Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana. Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut :
1)
Tujuan Asta Bumi adalah :
(a) Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi. (b) Mendapat vibrasi kesucian. (c) Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi.
2)
Luas halaman : a) Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya) : 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa : 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa : 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15. b) Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran depa : 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa : 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa : 6x5, 13x6, 18x13. Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu : 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15). Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).
HULU-TEBEN. "Hulu"artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu 1) Arah Timur, dan 2) Arah "Kaja" Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar diarah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut : 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan didepan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN.
Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah : PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, dimana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3 : Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti : Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7 : adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya : lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, dimana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan diatas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.
RANGKAIAN UPACARA NGENTEG LINGGIH.
Setelah bangunan selesai dalam bentuk Padmasana atau berbentuk Sanggah Pamerajan dan Pura, maka dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih. Dalam Bahasa Bali "Ngenteg" artinya mengukuhkan, dan "Linggih" artinya kedudukan. Jadi Ngenteg Linggih dalam arti luas adalah upacara mensucikan dan mensakralkan Niyasa tempat memuja Hyang Widhi. Yang akan diuraikan dibawah ini adalah upacara Ngenteg Linggih menurut versi tradisi beragama Hindu di Bali berdasarkan Lontar-lontar : Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya, Tutur Kuturan, Gong Besi, dan Sanghyang Aji Swamandala. Mungkin saja ada rangkaian upacara dalam bentuk lain menurut versi atau tradisi setempat untuk Niyasa-Niyasa tertentu, seperti di Jawa, Kalimantan, Sumatra, dll. boleh saja namun tujuannya tetap sama yaitu mensucikan dan mensakralkan Niyasa.
MEMANGGUH.
Tahap awal adalah upacara Memangguh. Asal katanya : "kepangguh" atau "kepanggih" artinya menemukan. Keyakinan tentang kekuasaan Hyang Widhi sebagai sang pencipta bahwa seluruh jagat raya adalah milik-Nya. Sebidang tanah yang dijadikan Pura ditemukan oleh manusia secara "Skala" (nyata) dan "Niskala" (tidak nyata, artinya berkat penugrahan Hyang Widhi). Memangguh lebih cenderung diartikan sebagai menemukan bidang tanah secara niskala.
MEMIRAK.
Berasal dari kata "pirak" artinya membeli. Kaitannya juga secara niskala, yang bermakna mohon ijin kepada Hyang Widhi untuk menggunakan bidang tanah dimaksud.
NYENGKER.
Berasal dari kata "sengker" artinya batas. Jadi upacara nyengker adalah memberi batas-batas luas tanah, baik secara skala dengan cara membangun pagar keliling, maupun secara niskala dengan menaburkan tepung beras putih kesekeliling batas tanah.MECARU. Berasal dari kata "caru" artinya korban suci untuk menuju keseimbangan dan keharmonisan. Keseimbangan dan keharmonisan dalam arti luas adalah TRI HITA KARANA (Tri = tiga, hita = kebaikan, karana = sebab; Jadi Trihitakarana adalah tiga hal yang menyebabkan kebaikan). Keseimbangan dan keharmonisan yang bersentral pada manusia, yaitu : 1) Bhakti manusia kepada Hyang Widhi dan sebaliknya kasih sayang Widhi kepada manusia, ini biasa disebut sebagai PARHYANGAN. 2) Hubungan antar manusia yang baik dengan inti kasih sayang, biasa disebut sebagai PAWONGAN. 3) Kecintaan manusia pada alam dengan memelihara kelestarian, biasa disebut sebagai PALEMAHAN. Mecaru dalam rangkaian upacara Ngenteg Linggih tujuannya adalah mohon kepada Hyang Widhi agar di area Pura dapat terwujud Trihitakarana.MLASPAS.
Mlaspas berasal dari kata "pas-pas" artinya menggunakan bahan-bahan bangunan yang perlu saja, sedangkan sisanya dikembalikan ke alam semesta. Misalnya sebatang pohon yang tumbuh di kebun/hutan tidak seluruhnya digunakan untuk tiang bangunan pelinggih. Bagian yang diperlukan diminta kepada Hyang Widhi sedangkan yang tidak digunakan dikembalikan lagi dalam berbagai bentuk. Pengertian lebih luas dari istilah "mengembalikan" adalah upaya menanam bibit baru dari jenis pohon yang ditebang.
MEMAKUH.
Asal kata dari "kukuh" artinya menyatu dan kuat. Dalam kaitan ini memakuh tujuannya menyatukan bagian-bagian bangunan pelinggih mulai dari pondamen, tiang dan atap, sehingga berbentuk suatu jenis bangunan misalnya "Meru", Padmasana, Piasan, dll. Jadi upacara memakuh dapat pula diartikan mewujudkan bentuk bangunan dari bahan-bahan : batu, semen, pasir, kayu, genting, dll. menjadi pelinggih, rumah, dll. Dengan kata lain yang tadinya berupa tumpukan material, sekarang sudah menjadi bangunan yang mempunyai nama.
NGURIP.
Berasal dari kata : "urip" artinya hidup. Maksudnya adalah : segala sesuatu yang digunakan untuk bangunan yang diambil dari alam, dahulunya hidup. Misalnya pohon nangka, batu-batuan, pasir, tanah, dll. Setelah pohon ditebang, batu dipecah, pasir dikeruk, tanah dibakar (untuk batu-bata/genting) maka bahan-bahan itu "mati". Segala apa yang mati adalah "bangkai". Agar supaya pelinggih (Niyasa) tidak terdiri dari bahan-bahan bangkai, maka bangunan itu perlu dihidupkan atau di-urip dengan puja mantra, dan upakara.
MASUPATI.
Asal katanya "pasupati" berarti menjadikan sakral. Bangunan pelinggih (Niyasa) perlu di-sakralkan dengan prosedur pensucian dan memohon nilai magic dari Hyang Widhi. Pelaksanaannya adalah dengan tirta pasupati dan "matatorek" yaitu memberi tanda dengan pewarna : merah (symbol Brahma), putih (symbol Siwa) dan hitam (symbol Wisnu)MEMASANG : AKAH, DAGING, ORTI, PALAKERTI, ULAP-ULAP.
MEMASANG : AKAH/PEDAGINGAN, ORTI, PALAKERTI, ULAP-ULAP.
Setiap pelinggih atau bangunan Niyasa, di suatu Pura atau Sanggah Pamerajan harus dilengkapi dengan akah/pedagingan, orti, palakerti dan ulap-ulap. Jika tidak demikian maka dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala disebutkan sebagai berikut : ..............."muang yen ngewangun kahyangan tan mapedagingan, nista, madya, utama, luwire wewangunane, mearan asta dewa, dudu kahyangan dewa ika, dadi umahing detya kubanda, tan pegat nandang wiadin sang madruwe kahyangan ika sami mangguh kageringan, mekadi mati salah ton, kerangenkaning bhuta pisaca" Artinya : ..........dan lagi jika membangun tempat suci tidak diisi "pedagingan" baik dalam bentuk sederhana, menengah maupun utama serta kelengkapannya, bangunan itu cacat, bukan stana para Dewa, bahkan ditempati setan, menjadikan yang punya mendapat rintangan, sakit-sakitan, mungkin saja mati mendadak, atau dikuasai setan.
Akah/pedagingan yang ditanam didasar bangunan terdiri dari : masing-masing satu lembar "pripih" (lembaran kecil ukuran 0,5 x 2 cm) : selaka (perak), temaga (tembaga), wesi (besi), mas (emas), kayu cendana, semua "merajah" (ditulisi) aksara "dasa bayu" : OM, I, A, KA, SA, MA, RA, LA, WA, YA. Pudi (permata mirah), bunga harum 7 macam, uang logam 700 keping (boleh memakai uang logam RI yang berlaku sekarang), miniatur alat-alat pertanian dan pertukangan dari besi, penggorengan kecil, kwangen dua buah. Korsi, capung, bathil (sejenis kendi) semua dari emas kecil-kecil. Semua itu dimasukkan kedalam kendi tanah, dibungkus kain putih, diikat benang tridatu (merah, putih, hitam). Bersama dengan sejumput caru dan sejumput banten "suci" ditanam didasar bangunan. Untuk bangunan niyasa selain Padmasana, akah/pedagingan itu lebih sederhana, tanpa memakai korsi-capung-bathil emas dan uang logamnya hanya 11 keping. Banten pemendemnya hanya pejati (tegteg daksina peras ajuman) dan sejumput caru.
Akah/pedagingan yang ditanam dibagian tengah bangunan terdiri dari : lima macam pripih seperti diuraikan diatas, ditambah : pudi dan buah pala dengan daunnya, ditaruh didalam kendi tanah, dibungkus kain putih dan diikat benang tridatu. Dipuncak bangunan diikatkan janur dari daun lontar yang dinamakan :orti/bagia, palakerti. Ulap-ulap adalah selembar kain putih bergambar "acintya" dan "padma angelayang" (bunga teratai berdaun delapan dilengkapi dengan "Dasa Aksara" suci : SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG dan gambar dari sembilan buah senjata para Dewata Nawa Sangga yaitu : BAJRA dari Iswara, DUPHA dari Mahesora, GADA dari Brahma, KADGA MOKSALA dari Rudra, NAGAPASA dari Mahadewa, DWAJA ANGKUS dari Sangkara, CAKRA dari Wisnu, TRISULA dari Sambu, dan PADMA dari Siwa). Untuk bangunan niyasa selain Padmasana, ulap-ulapnya tidak memakai gambar Acintya, hanya padma angelayang saja.
MEMENDAK.
Memendak artinya mohon kehadiran. Yang dimaksud dalam uraian ini adalah memendak Ida Bethara (Ista Dewata) yang akan distanakan di bangunan-bangunan pelinggih. Upacara memendak dapat dilakukan setempat (di area Pura/Sanggah Pamerajan) atau di "Catus Patha" (perempatan Desa). Prosedur memendak adalah dengan sarana (upakara) berupa : 1) Pelinggihan Ida Bethara (symbol) berupa "pretima" (patung) atau "daksina lingga" (sejenis banten daksina). 2) Banten secukupnya antara lain : pengulapan/ pengambean, pejati, segehan agung. Cara memendak adalah dengan menghadap ke Timur, Selatan, Barat, dan Utara, dengan tujuan memohon penugrahan Dewa Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu untuk mengijinkan kita menstanakan Ida Bethara didalam symbol niyasa berupa patung atau daksina lingga itu.
MESUCIAN.
Mesucian artinya menjauhkan roh-roh yang tidak diinginkan, agar tidak mengganggu kesucian niyasa Pelinggihan Ida Bethara. Mesucian dapat dilakukan setempat (di area Pura/Sanggah pamerajan) atau di sumber mata air.NGELINGGIHANG. Upacara ngelinggihang didahului dengan menanam "Pangenteg Gumi" yaitu sebuah gentong tanah yang didalamnya berisi banten : suci, panca datu, pala gantung (buah-buahan), pala bungkah (umbi-umbian), orti pala kerti, dan uang logam sebanyak 700 keping. Pangenteg gumi itu ditanam dibelakang bangunan Padmasana. Setelah selesai memendak, mesucian dan menanam pangenteg gumi, maka niyasa itu distanakan di pelinggih yang sudah disediakan. Seterusnya dihaturkanlah persembahan atau upakara untuk keperluan Ngenteg Linggih dan juga aturan/bhakti dari para pemdek (para bhakta yang hadir pada upacara itu).
PEMUSPAAN.
Persembahyangan bersama dilanjutkan dengan nunas tirta wangsuh pada, bija, dll.
PENYINEBAN.
Ida Bethara yang distanakan dapat "nyejer" artinya terus menerus dipuja selama 3, 7, 11, 42 hari, tergantung keinginan dan kemampuan para bhakta. Jika tidak ada keperluan lain, maka penyineban dapat dilakukan segera setelah upacara persembahyangan selesai, atau sore harinya, atau keesokan harinya. Tata cara "nyineb" dimulai dengan menghaturkan banten "sidakarya", kemudian persembahyangan, dan seterusnya niyasa Ida Bethara disimpan ditempat yang aman. Jika menggunakan daksina lingga, tetap dibiarkan di pelinggih. Setelah itu hiasan-hiasan Pura/Sanggah pamerajan dibuka dan kotoran-kotoran berupa sisa-sisa banten dibersihkan.
Om Santi, santi, santi, OmIda Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja, Bali. Telpon : 0362-22113, 27010. HP 081-797-1986-4.
Source : Bhagawan Dwija